Translate

Sabtu, 12 Juli 2008

Samuel Mulia....

Samuel Mulia - Penulis Mode dan Gaya Hidup

Perancang mode terkenal Perancis, Yves Saint Laurent, tutup usia hari Minggu lalu. Salah satu perancang mode yang saya sukai. Kesukaan yang tak akan pernah hilang meski rumah mode atas namanya kini punya napas baru yang jauh dari apa yang dibuatnya dahulu. Kualitas yang berbeda, pendekatan yang berbeda.

Meninggal atau mangkat atau wafat atau game over bukan masalah. Masalahnya bagaimana proses menuju jalan akhir itu. Minggu lalu saya menulis betapa nelongso-nya SK Trimurti, saya kini lebih nelongso lagi membaca bagaimana perancang legendaris ini meninggal.

Begini ucapannya di Detikcom yang saya baca. ”Saya mengenal ketakutan dan kesendirian. Obat-obatan dan teman palsu itu. Penjara depresi dan rumah sakit. Saya berhasil keluar dari itu semua, silau tetapi sadar.”

Kalau minggu lalu jantung saya nyaris berhenti mendengar nelongso-nya Bu Trimurti, maka membaca kalimat itu tidak hanya membuat jantung saya ”benar berhenti”, tetapi berdiam lama, lama sekali. Mencoba mengerti apa yang dirasakan pria berusia 71 tahun ini menjelang ajalnya.

Rahasia umur panjang

Teman palsu. Saya tak mengerti apa yang dimaksud Monsieur Saint Laurent tentang itu. Saya pikir ia tak lagi mengartikan teman palsu dengan obat-obatan yang benar-benar mampu memalsukan hidupnya. Karena kalimatnya adalah obat-obatan dan teman palsu itu. Jadi, ada dua hal. Ini dan itu. Dan yang membuat saya berhenti lama, lama sekali, bukan kesepian yang dia rasakan, tetapi sebuah suara bertanya dari dalam hati, teman palsukah saya?

Perancang yang senantiasa bersetelan dan berdasi hitam ini nelongso karena teman palsunya. Kepalsuan yang membuatnya depresi, kemudian mematikan. Kepalsuan yang seperti racun di cerita Agatha Christie. Saya mencoba berandai-andai. Kalau saja ia ditemani manusia yang tidak palsu, mungkin paling tidak ia bisa memperpanjang usianya. Karena teman yang semacam itu memang membahagiakan, menyegarkan jiwa, sebuah sandaran yang tak akan membuatnya hanya melayang sejenak.

Jadi, sekarang saya baru menyadari rahasia panjang usia. Bukan hanya karena anugerah Tuhan semata, bukan hanya gara-gara mengatur makanan empat sehat lima sempurna, dan bukan juga karena memiliki materi bernama helikopter pribadi yang bisa membawa Anda dari rumah mewah di luar Jakarta untuk makan pagi di hotel berbintang di tengah Jakarta. Tetapi, memperpanjang usia bisa ditentukan dengan memiliki teman-teman yang tidak palsu. Yang bisa—meski tak selalu—menemani seseorang dalam kondisi apa pun. Di atas gunung atau di bawah kolong jembatan.

Palsu. Sebuah kondisi yang tidak asli, yang tidak genuine. Jadi, kalau teman palsu adalah teman yang tidak asli, yang tidak genuine. Yang pura-pura. Pura-pura genuine. Seperti barang bermerek palsu. Kualitas yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Kualitas yang kelihatannya bagus di luar, tetapi ketika waktu berjalan akan kelihatan keaslian sesungguhnya.

Dalam keterdiaman yang lama, nurani saya yang banyak bacot itu berbunyi lagi. ”Ayo ngaku, jij teman palsu apa enggak? Lo teman kualitas KW1 atau asli?”

Maka setelah terdiam dan terusik oleh nurani sendiri, saya memang harus jujur mengatakan, saya ini memang seperti barang merek palsu, terutama dalam pergaulan.

Saya ingin punya banyak jaringan pertemanan dan bisnis, maka saya menempel kepada beberapa sosok socialite, beberapa pejabat atau anak pejabat yang bisa mengantar saya ke tempat yang saya inginkan. Kalau disuruh menemani belanja di Hongkong saya tak bakal menolak, dikasih Blackberry apalagi. Saya tak keberatan menjadi kacung papan atas. Tetapi, ketika si socialite sedang tertimpa musibah, pejabat menjadi bangkrut, anak pejabat dipenjara karena kasus narkoba, maka saya tak akan lagi pernah menghubungi.

Mungkin, awalnya saya masih mau setor muka, lama- kelamaan saya setor muka di tempat lain. Seperti barang palsu. Awalnya memukau, kemudian luntur karena tak berkualitas. Saya bukan butuh teman, saya butuh muka. Jadi, begitu muka yang saya harapkan rusak, maka saya mencari yang lain. Socialite baru, pejabat baru dan anak pejabat baru.

Kalau nasi jadi bubur

Saya membayangkan Yves Saint Laurent. Sosok yang pernah begitu penting di dunia mode, yang keterkenalannya sejagat raya, yang teman-temannya bernama kondang dan superkondang. Mungkin ia kecewa karena teman-temannya yang ia pikir benar-benar genuine ternyata tak bedanya seperti mereka yang memalsukan kreasinya. Ia silau dan tak sadar.

Mungkin juga, ia merasa tersisih setelah rumah mode atas namanya pun bukan menjadi miliknya. Teman bisnis di kala senang tak lagi berpihak kepadanya. Maka, ketika ia sudah kesepian, ia baru tahu teman yang sesungguhnya dan yang palsu. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Ia sadar meski sekarang ia silau. Kalaupun ia kini kecewa karenanya, itu bisa jadi—ini cuma asumsi saya—ia pun tidak berhati-hati selama tinggal di bawah lampu yang berkilat, yang menyilaukan, yang tak mampu membuatnya sadar sepenuhnya sehingga ia sampai tak tahu palsu dari tidak palsu.

Kalau saja Yves bisa melihat di dalam tidurnya di peti mati, teman-teman palsunya yang seperti saya ini, bisa jadi hadir di pemakaman dengan air mata buaya mereka. Saya bisa jadi datang karena saya ingin orang tahu saya mengenal sosok kondang ini. Apalagi kalau pemakaman itu diabadikan di majalah-majalah internasional. Siapa tahu saya bisa diabadikan di dalam majalah, seperti Elton John di pemakaman Gianni Versace.

Teman palsu seperti saya ini bahkan bisa memanfaatkan hari-hari dukacita itu sebagai medium untuk menjadi kondang. Saya tak pernah mau merawat yang sakit karena momen penuh pengorbanan itu tak akan pernah diabadikan di majalah mode dan gaya hidup. Teman palsu seperti saya maunya cuma senang-senang. Saya tak pernah berpikir—mungkin tepatnya tak peduli—kepalsuan saya sebagai teman bisa menghantar orang kehabisan napas, meredup, dan kemudian padam.

Kilas Parodi: Kalau…

1. Ada teman Anda yang ayahnya pernah menjadi anggota PKI dan kemudian diampuni pemerintah, masihkah Anda mau bergaul dengan keluarga dan anaknya itu seperti Anda mau berteman dengan anak konglomerat yang koruptor?

2. Ada pilihan dan hanya boleh memilih satu. Kalau pada hari, tanggal, dan jam yang sama Anda memiliki undangan pernikahan mewah anak konglomerat yang didemo dan teman biasa bukan konglomerat, tetapi lumayan kaya, yang berdukacita karena anaknya meninggal, Anda memilih hadir di mana? Catatan: di pesta perkimpoian ada kemungkinan Anda bisa difoto bersama para jetsetter dan ada kemungkinan diabadikan di majalah mode dan gaya hidup. Sementara di tempat dukacita, Anda tak mungkin diabadikan, tetapi bisa mendapat bahan gunjingan untuk siap diedarkan sepulang dari rumah duka sebab anak teman Anda meninggal karena sesuatu hal yang memalukan.

3. Kondisinya: yang menikah dan yang meninggal anak konglomerat dan kondang, yang mana prioritas utama Anda?

4. Waktu Anda menentukan prioritas, apakah itu terjadi spontan atau Anda memikirkan dahulu penting atau tidak pentingnya kehadiran Anda di salah satu tempat itu untuk masa depan Anda?

5. Anda bekerja sebagai kuli tinta mode, apakah Anda akan hadir dengan penuh semangat di peragaan busana desainer superkondang atau yang biasa-biasa saja?

6. Ada seseorang bertanya kepada Anda, mengapa Anda melakukan perbedaan? Mengapa susah sekali menjadi teman dalam segala cuaca? Apakah kira-kira jawaban Anda? Kalau saya jujur, capai ngurusin orang lagi kesusahan. (Samuel Mulia)

1 komentar:

olga laurentya mengatakan...

IKUTILAH!!
National Medical Journalism Update 2008
Media Aesculapius – FKUI
Sabtu-Senin/9-11 Agustus 2008
07.00-18.00

Lomba-lomba, Seminar, Workshops, Kunjungan ke KOMPAS dan KOMPAS TV, Jumpa Tokoh: Samuel Mulia dan Raditya Dika*
*dalam konfirmasi

HTM: Rp 50.000,-

Lomba Artikel Ilmiah Populer
Lomba Foto Jurnalistik
Tema: A World’s Fit for Children

Hub: Olga (081311092789)